Sabtu, 15 September 2012

Novel Remaja: IA


 
Pagi datang begitu saja. Aku berjalan menyusuri taman, jalan yang aku lewati setiap hari. Di sekitar kulihat dedaunan basah karena embun. Sama seperti aku yang sedang basah karena cinta. Suatu ketika kutemukan diriku terperangkap di dalam ruangan merah yang tak ada jalan keluarnya, hatinya. Rasanya seperti terbang ke awan, saat dia menatapku, saat dia mengandeng tanganku, saat dia menyatakan bahwa diapun terperangkap dalam ruangan yang sama, aku hendak melompat kegirangan, salto kedepan dan ke belakang. Aku hanya ingin perangkap cinta ini tidak membuatku sakit dan luka.


Aku tiba di sekolah dengan senyuman merekah bak bunga mawar indah. Dari kejauhan terlihat dia menungguku, badannya tegap dan penuh pesona. Uuh, tolong. Segera aku berlari menghampirinya. Ia menggandeng tanganku dan kami bersama menyusuri koridor sekolah yang penuh dengan siswa-siswi lainnya. Mata-mata itu menatap ke arah kami seakan menyerbu. Aku sekilas melihat tatapan iri itu, tapi lalu mengalihkan tatapanku lagi ke arah wajah manis yang juga sedang menatapku. Begitu setiap hari kami jalani. Berpacaran di tengah pasang-pasang mata yang memandang dengan cara berbeda. Aku dan dia hanya dua insan yang sedang dimabuk asmara dan menjadi korban hormon yang menggebu-gebu. Tiga tahun berlalu, sampai tiba saatnya kelulusan kami dan kami harus berpisah karena jarak. Kami telah memilih tempat masing-masing untuk melanjutkan studi, aku di Bandung sedangkan dia di *Aussie.

Tangisan merdu mewarnai perpisahan kami di bandara. Aku setia disampingnya, memeluk lengannya yang kekar dan wangi. Menangis tak ada habisnya, tak rela ditinggalkan oleh cinta pertamaku. Seiring terbangnya pesawat itu, aku memandang cintaku pergi ke benua seberang. Hatiku sakit. Kini hanya ada aku. Aku sendiri. Hari-hari yang biasanya aku jalani bersamanya kini hanya bayang-bayang indah. Aku tak tau kapan ia akan kembali. Kami memutuskan untuk berpisah, entah waktu akan mempertemukan kami kembali atau tidak, itu urusan Tuhan.
http://static.ak.fbcdn.net/images/blank.gif
Empat tahun sudah berlalu sejak kepergian cinta pertamaku. Aku sama sekali belum menerima kabar beritanya, apakah ia sudah kembali ke Jakarta ? atau ia menetap di Aussie ? entahlah. Sepanjang penantian aku disibukkan oleh segala aktifitas keduniaan. Gelar S1 sudah kuraih, sekarang aku mulai bekerja di sebuah perusahaan swasta. Tidak ada yang begitu berarti dalam empat tahun belakangan. Hanya sehari setelah aku wisuda, aku menerima sebuah surat kaleng berisikan ucapan selamat. Surat itu sudah ada di depan pintu rumahku ketika aku hendak pergi pagi sekali. Surat itu bertuliskan :

“selamat ya untuk gelar *S1 nya”

Aku mengira-ngira siapa yang meletakkan surat kaleng di depan pintu rumahku tanpa jejak. Pikirku cinta pertamaku datang lagi lalu mencari tau apa yang terjadi di kehidupanku. Oh pasti dia, benar-benar dia. Empat tahun tanpa berita, mengapa baru sekarang ia datang ? Setelah lama aku menunggu tanpa kepastian. Terlalu kecewa untuk diungkap, rasa ini aneh dan aku tidak tahu namanya.

Aku ingin sekali melihat wajahnya setelah lama tidak bertemu. Penampilanku sekarang sudah berubah, rambutku yang dulunya pendek kini sudah panjang sepinggang dan aku beri sentuhan warna. Tidak mungkin ia mengenaliku dalam sekejap. Ya, aku pikir begitu. Bagaimana wajahnya sekarang, apakah lebih tua ? badannya ? apakah lebih tinggi ? kulitnya ? dimana aku bisa menemukanmu cinta pertamaku ?

Sudah pernah aku coba untuk bersilaturahmi dengan orang tuanya, namun yang aku temukan hanya rumah kosong tidak berpenghuni. Mereka sekeluarga ikut menyusul ke Aussie. Aku hanya bisa pasrah menunggu. Dulu aku pikir akan bertemu kembali dengannya dalam waktu dekat setelah keberangkatannya, namun itu hanya harapan kosong. Empat tahun, ya empat tahun lebih aku sendiri tanpa kekasih. Aku takut saat memiliki kekasih, ia akan datang dan kemudian kucampakan kekasihku. Jadi aku memilih untuk sendiri. Kupikir kapanpun ia menemukanku, aku akan siap untuk memeluknya lagi seperti waktu dulu. Tapi apa ? harapanku hanya berbuah surat kaleng yang kuyakin dikirimkan olehnya. Surat ini tidak menjelaskan apa-apa. Dimana aku bisa menemukannya untuk memintanya mengulang lagi kisah indah kami dulu. Kamu dimana sayang ?

Pagi ini hujan deras membuatku ingin terus berbaring di tempat tidur. Kunyalakan televisi dan volumenya kukeraskan. Mataku masih terpejam, tapi telingaku sudah berfungsi dengan baik. Acara musik di televisi membuatku semakin mengantuk. Mendayu-dayu bagaikan semilir angin di tepi pantai. Seeeeerrrr... Aku ketiduran dan tidak jadi pergi ke kantor. Saat terbangun, bukannya buru-buru untuk bersiap mandi, aku malah sibuk menertawai diriku sendiri yang terlambat dua jam.

Begitulah hari indah ini kulalui, tanpa ada yang membuatku pusing seperti biasanya. Sorenya aku berjalan di sekitar taman yang dulunya sering kulewati ketika berangkat ke sekolah. Aku duduk di sebuah bangku klasik dipayungi oleh pohon besar yang meneduhkan. Asyik kunikmati sunset, tanpa sadar ada lelaki yang duduk di sebelahku dan berbicara sendiri. Oh tidak, ia nampak berbicara denganku. Dia menyampaikan pendapatnya mengenai suasana di sore hari yang indah itu. Jarang-jarang ditemukan sunset sebesar ini. Bulat penuh dan cahayanya memberi kehangatan sore yang luar biasa nikmatnya. Kami berdua lalu berbincang sejenak mengenai hal itu. Sunset hampit tenggelam seluruhnya tapi kami berdua terus saja mengobrol. Pukul tujuh malam aku pulang ke rumah. Aku ingat-ingat, lelaki tadi memiliki aroma tubuh yang sama dengan cinta pertamaku. Tapi tentu dia bukan cinta pertamaku itu, aku ingat jelas wajah tampan dan tubuh tegapnya itu. Hmm.. mungkin saja kebetulan.

Sepulang kerja, aku akan mampir ke taman lagi. Siapa tahu saja ada sunset yang indah seperti kemarin. Aku duduk di tempat yang sama. Tidak ku sangka, lelaki yang kemarin juga duduk disana. Ia melihatku datang dan tersenyum manis sekali. Ternyata ia tampan juga. Kami kembali membuka pembicaraan mengenai sore yang kami lewati itu, namun pembicaraan sekarang mulai ke arah pribadi masing-masing. Ia menanyakan dimana aku tinggal, dimana aku bekerja, dan dulu bersekolah dimana. Ternyata ia alumni SMA yang sama denganku, tapi ia dua tahun lebih awal. Dan yang lebih mencengangkan lagi, ia mengenal cinta pertamaku !

Pukul sembilan malam, aku kembali ke rumah ditemani olehnya. Kami banyak sekali berbicara sampai-sampai aku merasa haus sekali. Aku belum makan malam, iseng-iseng kutawarkan saja untuk makan malam berdua dengannya lalu ia menyanggupinya. Kami membuat makan malam sederhana di rumahku. Dua mangkok mie instan dan dua cangkir nescafe. Aku kekenyangan dan tertidur di depan televisi.

Suara ayam membangunkanku. Aku tertidur di kamarku dan berselimut. Sejak kapan aku memakai selimut ? aku tidak suka memakai selimut ketika tidur. Aha, aku baru ingat kalau semalam aku makan malam bersama lelaki yang kutemui di taman. Lalu kemana dia pergi ? entahlah. Aku cepat-cepat bersiap untuk ke kantor. Kulihat ke arah kulkas, disana tertempel kertas yang bertuliskan :
“maaf aku pulang tidak berpamitan. Kamu tidurnya nyenyak sekali. Sampai jumpa di taman pukul 6.”

Pikiranku melayang. Apa ia tidak memiliki maksud buruk terhadapku ? ah lupakan saja. Aku akan terlambat ke kantor kalau memikirkan ini terus.

Aku tiba di taman tepat waktu. Ia sudah menunggu. Kusapa dia dengan senyum ramahku seraya mengucapkan terima kasih karena ia mau bersusah-susah menggendongku sampai ke kamar. Ia hanya tertawa dan mengejekku yang malam itu kelihatan seperti balita ketiduran. Lalu kami tertawa terbahak-bahak. Entah kenapa aku merasa sangat akrab dengannya. Aku menemukan sosok cinta pertamaku. Seandainya cinta pertamaku yang ada disini dan menyaksikan keindahan alam yang begitu mempesona denganku setiap sore, pasti hidupku sempurna. Kemana kamu sayang ? kemana harus ku cari ? aku takut sekali ia telah meninggalkanku untuk wanita lain dan menganggap aku hanya cinta semasa SMA atau yang biasa disebut cinta monyet. Apa ia akan melupakanku begitu saja ? apa penantianku ini akan sia-sia ? apakah masih ada harapan untuk bersama ? akankah ia masih menginginkan aku seperti dahulu ? atau apakah cintaku ini bertepuk sebelah tangan ? aku tidak tahu dan hampir menangis.

Lelaki di sebelahku menatapku dengan khawatir. Ia bertanya apa yang aku pikirkan hingga membuat wajahku sesendu itu. Aku memutuskan untuk bercerita tentang cinta pertamaku padanya. Ia menyaksikan dengan begitu tenang. Ia menatap mataku seolah mengerti apa yang aku rasakan.

Seolah-olah iba dan ingin melindungiku dari belenggu yang aku rasakan. Ia menyandarkan kepalaku di bahunya. Sambil menghela nafas panjang, ia terus membelai rambutku. Setelah menyadari aku tenang dalam tangisanku, ia mulai berbicara. Lelaki baik ini mengatakan ia sudah tahu siapa aku, darimana aku, dimana aku bersekolah, bahkan kisah cintaku dengan cinta pertamaku. Ia tahu segalanya. Ia telah lama memperhatikan aku dari jauh. Bahkan surat kaleng yang ada di depan pintu rumahku itu adalah buatannya. Lelaki baik dan bersahaja ini adalah kakak dari cinta pertamaku. Ia dititipkan amanat oleh adiknya untuk selalu melindungiku. Di Aussie dulu, cinta pertamaku menjalani pengobatan kanker otak stadium 3 yang telah dideritanya sejak dia kecil. Dia tidak mau memberitahukannya kepadaku karena dia takut aku menjadi sedih atau meninggalkannya. Ia bercita-cita untuk segera kembali ke jakarta ketika ia sembuh dan menikahiku karena akulah cinta pertama dan terakhirnya. Cinta pertamaku telah berjuang untuk sembuh selama dua tahun, namun Tuhan berkehendak lain. Ia meninggal dan dimakamkan disana. Semasa hidupnya, cinta pertamaku selalu menceritakan aku. Bahkan ia masih menyimpan segala benda kenangan yang kami punya dahulu. Kakaknya sudah satu tahun ini pulang ke Jakarta dan mengawasiku setiap saat. Ia ingin menjalankan pesan terakhir adiknya yaitu menjagaku.

Aku tidak tahu harus bagaimana. Air mataku tumpah begitu saja mendengar cerita lelaki itu. Apa yang harus aku lakukan sekarang ? menjerit pun tidak akan bisa menenangkan hatiku. Aku tetap menangis dalam pelukan lelaki baik ini. Aku menangis sejadi-jadinya meratapi kisah cintaku ini.

Meratapi penantianku ini. Meratapi impianku untuk bertemu cinta pertamaku kembali.
Kami berjalan menyusuri taman menuju rumahku. Aku masih menangis. Aku bisa merasakan kekhawatiran dalam hati lelaki yang sedang menggandeng tanganku ini.

Keesokan harinya kuputuskan untuk tidak ke kantor. Aku berdiam di rumah meratapi kenyataan pahit yang sedang aku hadapi. Cinta pertamaku, semoga kamu merasakan betapa rindunya hati ini. Betapa ingin aku memelukmu dan mencium aroma tubuhmu yang memukau. Kurasakan ciuman terakhirmu di bibirku. Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku tidak akan melepaskanmu disaat-saat terakhirmu. Aku akan menemanimu bagaimanapun keadaanmu. Sesakit apapun kamu, akan kuobati semua sakit yang kamu derita dengan cintaku. Apapun yang sedang kamu kerjakan disana, aku hanya ingin sampaikan kalau aku adalah wanita paling beruntung karena pernah kau cintai.

Cintaku, aku adalah tubuh yang kehilangan jiwanya. Aku adalah laut yang kehilangan ombaknya. Aku adalah sepi dalam kesepian. Aku adalah derita dalam sengsara. Aku adalah rindu yang tak tersampaikan. Aku adalah hampa dalam kesendirian. Aku adalah sedih yang berkepanjangan. Aku adalah sesal yang tiada arti. Aku tiada.
Namaku Metha.

Juara 5 lomba sayembara penulisan cerpen mahasiswa 2012
 karya netty mahasiswi jurs sastra UNRAM MTR 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar